Percobaan Sifilis di Guatemala oleh CIA

Kisah Kelam di Balik Tirai Besi Eksperimen Medis Amerika




Bayangkan sebuah noda hitam yang tak terhapuskan dalam sejarah kedokteran, sebuah kisah yang mengungkap sisi paling gelap dari ambisi ilmiah dan kekuasaan. Ini bukan fiksi, melainkan kenyataan pahit yang tersembunyi selama puluhan tahun: Program Darah Tercemar, atau lebih dikenal sebagai Eksperimen Sifilis Guatemala. Sebuah babak kelam yang dilakukan oleh Layanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat (US Public Health Service) di Guatemala antara tahun 1946 hingga 1948, di tengah hiruk pikuk pasca-Perang Dunia II.


Di bawah komando Dr. John Cutler, seorang dokter pemerintah AS, eksperimen ini secara sadar mengubah ratusan nyawa menjadi tikus percobaan. Hampir 700 warga Guatemala—mulai dari pekerja seks, tahanan, tentara, hingga pasien psikiatri yang rentan—dipaksa menjadi subjek, diinfeksi dengan sifilis dan penyakit menular seksual lainnya. Tujuannya? Untuk mempelajari perkembangan penyakit mematikan ini, sebuah "penelitian" yang mengabaikan setiap prinsip etika dan kemanusiaan.

Percobaan ini, dengan segala kekejamannya, disembunyikan rapat-rapat oleh pemerintah AS selama beberapa dekade. Dr. Cutler sendiri, dengan tanpa rasa bersalah, sempat menginformasikan konferensi Panama Canal Zone Medical Society pada tahun 1947 bahwa "vektor" (istilah halus untuk manusia yang diinfeksi secara sengaja) telah digunakan. Namun, baru pada tahun 2005, sebuah laporan dari Dr. Thomas Parran Jr., Ahli Bedah Umum AS pada masa itu, mengungkap sebagian kecil dari kebenaran yang mengerikan ini.

Puncak kekejaman Dr. Cutler terjadi pada tahun 1948 di Guatemala City, di mana ia memperluas eksperimennya. Dalam suratnya kepada Ahli Bedah AS, ia melaporkan telah menginokulasi 1.500 pasien mental dan 1.000 narapidana dengan sifilis. Lebih mengerikan lagi, 243 pasien meninggal dunia bahkan sebelum mereka sempat diobati.


Ironisnya, eksperimen ini bukan untuk mencari pengobatan, melainkan untuk menguji apakah penisilin dapat mencegah infeksi setelah seseorang terpapar penyakit. Ini adalah perhitungan dingin yang dilakukan di tengah Perang Dunia II, sebuah keuntungan "biaya-efektif" bagi pemerintah AS agar tentara mereka tidak tertular sifilis di luar negeri. Sepanjang "penelitian" ini, Dr. Cutler tidak pernah mendapatkan persetujuan informatif dari para korban. Mereka tidak pernah diberitahu tentang diagnosis mereka, apalagi ditawari pengobatan.


Eksperimen Guatemala adalah pelanggaran telanjang terhadap prinsip-prinsip etika kedokteran, termasuk Kode Nuremberg 1947 yang baru saja dirumuskan. Kode ini, lahir dari kekejaman eksperimen Nazi, menegaskan pentingnya persetujuan sukarela dan informatif sebelum seseorang dapat menjadi subjek penelitian medis. AS tidak hanya melanggar kode etik ini, tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Guatemala dan hak asasi warganya di bawah hukum internasional.

Namun, Eksperimen Sifilis Guatemala bukanlah insiden tunggal. Ini hanyalah salah satu dari serangkaian metode yang melibatkan pemerintah AS selama era Perang Dingin. Pada tahun 1953, US Public Health Service kembali melakukan eksperimen serupa di Terre Haute, Indiana, secara sengaja menginfeksi ratusan tahanan penyandang disabilitas mental di Penjara Negara Bagian Indiana dengan gonore.

Dan siapa yang bisa melupakan Studi Tuskegee yang terkenal? Ditemukan pada tahun 1972, studi mengerikan ini berlangsung selama 40 tahun di Alabama. US Public Health Service secara sengaja menolak pengobatan sifilis bagi pria Afrika-Amerika hanya untuk mengamati perkembangan alami penyakit tersebut. Mereka tidak pernah diberitahu, tidak pernah diobati.


Eksperimen Guatemala tetap tersembunyi selama puluhan tahun hingga akhirnya terungkap pada tahun 2010 oleh Prof. Susan Reverby dari Wellesley College, saat ia melakukan penelitian di University of Pittsburgh. Penemuannya ini memicu reaksi berantai.

Di bawah sponsor Komisi Presiden Obama untuk Studi Isu Bioetika yang dibentuk pada tahun 2010, Prof. Reverby membantu menyusun laporan komprehensif tentang eksperimen Guatemala yang dirilis pada tahun 2011.

Baru pada tahun 2011, pemerintah AS secara resmi mengakui dan meminta maaf atas Eksperimen Guatemala. Menteri Luar Negeri AS saat itu, Hillary Clinton, dan Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan, Kathleen Sebelius, menyatakan, "Meskipun peristiwa ini terjadi lebih dari 64 tahun yang lalu, kami bertanggung jawab secara moral karena mengakui peran kami dalam bahaya yang ditimbulkan pada ratusan orang." Namun, bagi para penyintas dan keluarga korban, pengakuan ini tidak serta-merta membawa keadilan atau kompensasi atas komplikasi kesehatan dan trauma psikologis yang mereka alami hingga kini.

Pada tahun 2012, warga Guatemala yang menjadi korban mengajukan gugatan class-action. Namun, Departemen Kehakiman AS berdalih bahwa pemerintah AS kebal dari tuntutan hukum terkait kerusakan yang terjadi di luar negeri, dan pengadilan federal menolak gugatan tersebut.

Secercah harapan muncul pada tahun 2019, ketika seorang hakim Guatemala menyatakan bahwa undang-undang amnesti tahun 1972 tidak akan melindungi pegawai pemerintah yang dituduh bersekongkol dalam eksperimen tersebut dari tuntutan pidana. Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah Guatemala belum mengambil tindakan nyata berdasarkan deklarasi tersebut.


Eksperimen sifilis Guatemala adalah sebuah noda hitam yang dalam pada catatan pemerintah AS dalam melakukan eksperimen medis pada subjek manusia tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Warisannya masih terasa hingga saat ini, menciptakan jurang ketidakpercayaan antara komunitas medis dan kelompok-kelompok terpinggirkan. Kisah ini adalah pengingat yang menyakitkan akan pentingnya kesadaran, akuntabilitas, dan tanggung jawab yang berkelanjutan dalam setiap aspek penelitian dan praktik medis. Ini adalah panggilan untuk memastikan bahwa kekejaman semacam ini tidak akan pernah terulang, dan bahwa harkat serta martabat manusia selalu di atas segalanya.

Previous Post Next Post